Kamis, 23 Juni 2011

Simbiosis Mutualisme dalam Pajak


Belum lama ini, Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan, Anshari Ritonga—sebagaimana dilansir oleh www.okezone.com (16/10/10)—menyatakan bahwa permasalahan mendasar yang menjadi suatu alasan mengapa masyarakat menolak membayar pajak adalah akibat banyaknya peraturan pelaksanaan yang dibuat oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, yang cenderung memihak pada kemudahan fiskus dalam memenuhi targetnya. Hal tersebut tentu saja membuat kita prihatin.
Pasalnya, bicara tentang pemungutan pajak, sama halnya dengan membicarakan dua pihak yang saling membutuhkan dan ketergantungan. Meski dalam tataran tertentu memiliki perbedaan kepentingan, namun mengapa kedua belah pihak ini tidak bisa berlaku seperti bunga dengan kupu-kupu atau ikan remora dan ikan hiu, yang sangat merefleksikan adanya simbiosis mutualisme di antara mereka?
Kembali ke konteks pajak, sebaliknya dua pihak di atas, tentu saja negara (yang diwakili oleh aparat pajak) dan Wajib Pajak, justru merefleksikan simbiosis parasitisme. Di mana, ada salah satu pihak mendapat keuntungan dan di lain pihak merasa dirugikan. Sehingga, timbul suatu pertentangan dalam diri salah satu pihak untuk melebur dan hidup berdampingan.
Di sini, kami tentu tidak bermaksud untuk menunjuk pihak mana yang salah dan pihak mana yang benar. Kedua belah pihak sama-sama mempunyai kepentingan yang dapat dimengerti. Aparat pajak berkepentingan mengumpulkan pajak semaksimal mungkin. Sementara, Wajib Pajak ingin membayar pajak seminimal mungkin.
Perbedaan kepentingan seperti itu dapat diselaraskan. Misalnya, dengan mengubah cara pandang dan sikap kedua belah pihak, yang didukung dengan kemantapan dan rasionalitas perangkat pemungutan pajak—khususnya aturan perpajakan—dalam menjalankan fungsinya masing-masing.
Sayang, tak jarang kondisi yang terjadi justru sebaliknya. Pemicu yang seringkali muncul adalah karena kurang jelasnya aturan pajak, sehingga menimbulkan berbagai perbedaan penafsiran antara Wajib Pajak dan aparat pajak. Tidak hanya itu, masih banyak masalah dalam administrasi perpajakan yang juga perlu mendapat penanganan yang serius. 
Pemahaman masyarakat akan pajak sedikit demi sedikit mengalami kemajuan. Sudah banyak Wajib Pajak yang bisa memberikan penilaian sendiri dan bersikap kritis atas suatu peraturan pajak. Maka, fakta yang disampaikan Anshari Ritonga di atas wajar terjadi.   
 Nah, mengapa kita tidak memanfaatkan kekritisan Wajib Pajak saja untuk mengatasi masalah ini? Maksudnya, mari kita gunakan konsep simbiosis mutualisme untuk memperbaiki administrasi pajak yang memang belum sempurna. 
Kekritisan Wajib Pajak terkait materi dalam peraturan pajak yang sifatnya membangun, dapat digunakan oleh pihak Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk menyempurnakan peraturan pajak yang berlaku. Dalam hal ini, diperlukan pula keterbukaan dari Ditjen Pajak untuk mau mendengarkan dan menampung masukan-masukan dari Wajib Pajak.  
Wajib Pajak pun harus menyampaikan saran dan kritikannya dengan cara yang tepat dan baik. Jangan lantas langsung pasang badan dan ujung-ujungnya mengecam dan mengancam akan mogok membayar pajak bila menemui peraturan-peraturan pajak yang bermasalah. Harapannya, adanya pola pikir yang kritis dan keterbukaan akan membuat pembuat kebijakan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan aturan.
Jadi, bagaikan burung gagak yang bertengger di atas punggung kerbau untuk mematuki serangga yang bersarang di punggung kerbau. Binatang penyabar pemamah biak itu pun membiarkan gagak bertengger dengan bebas. Dalam hubungan ini, di satu sisi, gagak mendapatkan berbagai jenis makanan. Di sisi lain, kerbau akan merasa lebih sehat. Seperti itulah alam mengajarkan pola kerjasama yang baik. Pola yang bisa ditiru antara Wajib Pajak dan fiskus ¢

Tidak ada komentar:

Posting Komentar