Kamis, 23 Juni 2011

Perlu Motivasi

Seorang siswa yang sedang menghadapi ujian tentu tidak akan berhasil jika ia hanya berdoa saja kepada Tuhan, minta diberikan kemudahan. Untuk berhasil, ia juga harus mempersiapkan diri dengan cara belajar dengan baik.
Rendahnya keinginan/motivasi untuk belajar atas kemauan sendiri memang seringkali menjadi pangkal masalah dari kegagalan seorang siswa. Bisa jadi hal ini disebabkan karena anak tersebut belum atau tidak memahami keuntungan atau manfaat dari belajar.
Memotivasi anak agar giat belajar sesungguhnya merupakan tantangan bagi orang tua. Yakinkan pada sang anak bahwa belajar itu penting untuk masa depan, bahwa belajar adalah salah satu kunci sukses, sehingga mudah mencari pekerjaan. Bila sang anak telah yakin akan hal ini, semangat sang anak tentunya akan tumbuh.
Intinya adalah, orang tua harus dapat memotivasi anaknya sehingga sang anak tak hanya meyakini tapi juga mengamalkan (baca: melakukan) keyakinan tersebut. Upaya untuk menumbuhkan motivasi anak dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya menciptakan suasana yang nyaman sehingga sang anak tertarik untuk belajar, memberikan les private, hingga memberikan iming-iming hadiah bila sang anak berprestasi.
Namun bila berbagai cara tersebut ternyata tak kunjung membuahkan hasil yang diharapkan, orang tua dapat mengancam sang anak dengan hukuman yang tepat. Dengan demikian, motivasi pada anak dapat ditumbuhkan melalui pola reward dan punishment.
Secara sederhana, dalam menumbuhkan kesadaran Wajib Pajak untuk melakukan kewajibannya, peran pemerintah pun tak ubahnya seperti peran orang tua. Seperti halnya kasus menumbuhkan kesadaran belajar siswa, kesadaran Wajib Pajak juga tidak dapat tumbuh dengan sendirinya. Dan rasanya, hal ini pun sudah disadari oleh pemerintah.
Sejumlah permen manis dalam bentuk insentif ditawarkan kepada Wajib Pajak, seperti pemberian fasilitas sunset policy atau perbedaan perlakuan antara Wajib Pajak yang ber-NPWP dengan yang tidak. Selain memberikan insentif, pemerintah juga memberikan sanksi perpajakan yang lebih berat ketimbang UU Pajak sebelumnya. 
Mau tidaknya Wajib Pajak memakan permen manis tersebut, berpulang pada diri Wajib Pajak masing-masing. Apakah mereka akan memanfaatkan insentif tersebut atau tidak.
Namun dengan memberikan pilihan tersebut, setidaknya pemerintah telah membuat Wajib Pajak memikirkan tentang kewajiban perpajakannya, dan berhitung untung ruginya jika tidak melakukan kewajiban pajaknya dengan benar.
Keengganan sejumlah Wajib Pajak untuk memanfaatkan fasilitas pajak terlihat dari sejumlah fakta di lapangan. Misalnya, tidak sedikit Wajib Pajak yang bersedia dikenai PPh lebih tinggi dari pada harus ber-NPWP.
Hal ini tentunya menjadi PR (pekerjaan rumah, red) tersendiri bagi pemerintah. Pasalnya, memiliki NPWP atau tidak, bukan merupakan pilihan, tetapi merupakan kewajiban yang tertuang langsung dalam UU Pajak.
Fakta ini menunjukkan bahwa setiap Wajib Pajak memiliki tipe yang berbeda-beda, ada yang sadar dan mau melakukan kewajiban pajaknya; ada yang sadar akan kewajiban pajaknya tapi bandel dan tak mau memenuhi kewajibannya; dan ada pula yang tidak sadar akan kewajiban pajaknya; atau bahkan tidak mau tahu.
Jika untuk menggugah keyakinan setiap anak bahwa belajar itu penting, diperlukan motivasi dari orang tuanya. Maka hal itu berlaku pula bagi Wajib Pajak. Pemerintah perlu memotivasi Wajib Pajak dalam rangka membuka ruang kesadarannya, kemudian mengajak mereka untuk melakukan apa yang menjadi kewajibannya.
      Memang tidak mudah untuk meyakinkan Wajib Pajak bahwa pajak punya manfaat dan sangat penting untuk kepentingan Wajib Pajak itu sendiri. Karena itu hal ini sebaiknya tidak menjadi tugas otoritas pajak semata, tapi merupakan tugas instansi dan lembaga negara lainnya untuk menunjukkan pajak dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Semoga seluruh rakyat, khususnya para Wajib Pajak dapat memahaminya ¢

Tidak ada komentar:

Posting Komentar