Kamis, 23 Juni 2011

Pastikan Hak WP Terpenuhi


Soal sifat wajib yang melekat pada pajak, tentunya banyak orang yang sebenarnya sudah tahu. Tapi merogoh kantung untuk membayarnya adalah soal lain. Rasanya begitu berat. Walhasil, banyak orang yang berusaha untuk menghindari pajak dengan berbagai cara. Ada yang menempuh cara legal dan ada yang tidak.
Kalau membayar pajak yang sudah jelas merupakan kewajiban saja berat, apalagi membayar pajak yang bukan kewajiban Wajib Pajak. Misalnya karena tidak seharusnya kena pajak atau dikenakan pajak lebih tinggi. Meski pasti dihindari, namun pada praktik hal ini kadang menimpa WP karena berbagai faktor. Keinginan Wajib Pajak yang berada dalam kondisi ini tentu sudah jelas, uangnya harus kembali.
Ada komentar bernada guyon seputar proses pengembalian uang Wajib Pajak ini: ”Membayar pajak itu gampang, tapi memintanya kembali tidak semudah membalikkan telapak tangan.” Meski terkesan bercanda, tapi komentar ini bermakna sangat dalam. Ia adalah salah satu cermin yang menunjukkan tingkat keseimbangan antara hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam arti yang sesungguhnya.
Ketentuan perpajakan sudah memberikan beberapa cara untuk mengembalikan uang milik Wajib Pajak itu. Ada empat cara yang sudah diatur yaitu mengajukan keberatan, pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang, pemindahbukuan atau dengan pengkreditan di akhir tahun. Pengalaman tiap-tiap Wajib Pajak dalam memanfaatkan cara dalam undang-undang ini mungkin berbeda-beda.
Tapi biasanya, Wajib Pajak memang harus benar-benar mampu meyakinkan petugas pajak bahwa uang yang diminta kembali tersebut bukanlah pajak. Dan ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi untuk itu, di samping Wajib Pajak harus pula menyediakan waktu, tenaga dan mungkin biaya.
Wajib Pajak mungkin mesti legowo memahami mengapa proses pengembalian uangnya menuntut syarat ini itu. Hal ini erat kaitan-nya dengan tingkat ketergantungan negara ini terhadap penerimaan pajak. Walhasil negara harus yakin benar bahwa uang yang diminta Wajib Pajak bukanlah pajak. Kalaupun harus mengembalikan, sebisa mungkin tidak dalam bentuk uang keluar, tapi kompensasi ke pajak lain.
Namun yang juga harus dipastikan, proses pengembalian uang Wajib Pajak seyogyanya tetap mengedepankan hak-hak Wajib Pajak. Pendeknya, sepanjang Wajib Pajak mampu membuktikan, sudah seharusnya proses pengembalian uang pajak itu dipermudah.
Di samping itu, beberapa cara yang ada dalam undang-undang mesti diperhatikan kembali karena terkesan ada tapi tiada. Keberatan misalnya, menjadi tidak populer karena memakan waktu cukup lama. Belum lagi konsekuensi jika harus mengajukan banding. Atau cara permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang versi terkini, yang meski prosesnya diatur lebih cepat ketimbang keberatan, tapi persyaratannya masih kurang jelas karena menggunakan kalimat ”antara lain”.
Jangan lupa, dana segar yang sudah terlanjur masuk ke negara itu bukanlah pajak, tetapi uang milik Wajib Pajak. Jadi, sudah seharusnya pemerintah menjamin agar proses pengembalian uang itu semudah ketika ia masuk. Kalau pun tidak bisa sama persis, paling tidak jangan terlampau jauh perbedaannya ¢

Diskon, Mau Dong...!


Awal April lalu muncul kabar yang cukup menghebohkan dunia pajak. Sebagaimana dilansir di sebuah media online, salah satu Kanwil Pajak berinisiatif untuk menggandeng pengusaha di bidang factory outlet, restoran dan perhotelan untuk memberikan diskon kepada para pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Inisiatif tersebut ternyata mendapatkan tanggapan positif dari kalangan pengusaha.
Namun demikian, akhir bulan April Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Nomor SE-46/PJ/2009. Salah satu inti surat edaran tersebut adalah penegasan bahwa DJP, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, tidak ada kaitannya dengan kegiatan diskon tersebut. Kemudian, Kepala Kantor Wilayah DJP dan seluruh jajarannya dilarang secara aktif ikut berinisiatif atau bahkan berpartisipasi dalam kegiatan pemberian diskon bagi pemilik NPWP.
Ide pemberian diskon tersebut memang unik, dan rasanya belum pernah terjadi di Indonesia. Tujuannya pun juga cukup positif, yang sebagaimana diberitakan adalah sebagai apresiasi kepada para pemegang NPWP. Di lain pihak, langkah DJP mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-46/PJ/2009 juga dapat dipahami.
Segala bentuk apresiasi terkait pemungutan pajak mestinya disusun dalam koridor peraturan yang resmi dari pihak yang diberi wewenang untuk itu. Dengan demikian, siapa dan bagaimana pertanggungjawabannya menjadi lebih jelas. Meski ide diskon tersebut terbilang positif, tanpa landasan hukum yang jelas, bisa saja timbul hal-hal yang tidak diinginkan.
Lalu, apakah dengan keluarnya surat edaran tersebut program diskon kepada para pemegang NPWP menjadi tidak diperbolehkan sama sekali? Ternyata, terbitnya surat edaran tersebut tidak berarti bahwa pemberian diskon kepada para pemilik NPWP menjadi haram sama sekali. Jika para pengusaha tetap memberikan diskon kepada para pemilik NPWP atas inisiatifnya sendiri, DJP bahkan menyambut positif hal itu.
Nah, penegasan DJP ini merupakan kabar baik bagi para pengusaha. Para pengusaha menjadi bebas menentukan skema diskon seperti apa yang akan diberikan kepada para pelanggan tanpa terikat kesepakatan/keterikatan dengan instansi mana pun. Jika program diskon ini berhasil, pengusaha juga bebas menikmati pertambahan penghasilannya.
Dilihat dari sisi bisnis, program diskon kepada para pemegang NPWP merupakan peluang tersendiri untuk mendongkrak penjualan. Sederhana saja, jumlah pemegang NPWP–khususnya orang pribadi sebagai pemanfaat diskon utama–saat ini sudah mencapai angka jutaan orang. Mereka pun bisa dikategorikan sebagai pelanggan yang cukup prospektif karena sudah dikenai kewajiban ber-NPWP.
Di luar itu, di tengah kondisi keuangan yang sulit seperti ini, siapa yang tidak akan tertarik dengan diskon? Jika para pengusaha mampu meramu skema diskon yang menarik sehingga berhasil menggaet para pemegang kartu yang life time-nya bisa seumur hidup itu menjadi pelanggan setia, bayangkan keuntungannya!
Selain soal hitung-hitungan untung-rugi bisnis, dengan memberikan diskon kepada para pemegang NPWP, secara tidak langsung para pengusaha membantu pemerintah setidaknya dari dua sisi. Dengan pertambahan keuntungan, kontribusi para pengusaha–yang juga adalah WP–terhadap penerimaan pajak tentu saja juga ikut terdongkrak.
Kemudian, para pengusaha juga bisa dikatakan turut membantu pemerintah dalam mengapresiasi para pemilik NPWP atas kesediaannya menjadi pemegang kartu ini. Siapa tahu, hal ini bisa menjadi ajang ekstensifikasi tersendiri. Kalau sudah begini, coba tebak siapa saja yang bisa tersenyum senang?

Babak Baru Pemenuhan Kewajiban Pajak


    Kerja keras otoritas pajak untuk meningkatkan jumlah pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada akhirnya terwujud juga. Hal ini dapat dilihat dari jumlah Wajib Pajak terdaftar sampai dengan akhir Maret 2009 lalu yang mencapai 13 juta. Di sisi lain, kita pun perlu memberi penghargaan kepada Wajib Pajak yang telah membuka kesadarannya untuk ber-NPWP. Karena tidak mungkin usaha dan kerja keras otoritas pajak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari Wajib Pajak sendiri.
Namun angka 13 juta Wajib Pajak terdaftar tersebut tidak akan menghentikan upaya otoritas pajak untuk mengajak Wajib Pajak ber-NPWP. Angka 13 juta ini pun merupakan angka yang fantastis karena di awal tahun 2008 jumlah Wajib Pajak terdaftar hanya sekitar 6 juta. Hal ini berarti jumlah Wajib Pajak terdaftar meningkat lebih dari 100%. Konon untuk tahun 2012 nanti otoritas pajak menargetkan jumlah Wajib Pajak terdaftar akan meningkat hingga 24 juta Wajib Pajak.
Bila jumlah tersebut dikaitkan dengan tingkat kesadaran Wajib Pajak, memang belum dapat dijadikan ukuran karena jumlah tersebut termasuk Wajib Pajak yang memperoleh NPWP jabatan. Apalagi sekarang ini, sistem perpajakan kita memang telah ’memagari’ hampir semua transaksi bisnis dan birokrasi dengan prasyarat ber-NPWP. Selain juga memberikan diskriminasi pengenaan pajak antara Wajib Pajak yang ber-NPWP dengan yang tidak.
Kewajiban perpajakan tentunya tidak hanya berhenti pada titik Wajib Pajak ber-NPWP saja. Karena NPWP adalah awal dari pelaksanaan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak. Langkah selanjutnya bagi otoritas pajak adalah bagaimana membuat Wajib Pajak sukarela dalam melakukan kewajiban pajaknya.
Dengan adanya kepemilikan NPWP bagi Wajib Pajak—khususnya Wajib Pajak orang pribadi, secara psikologis hal ini akan membuat Wajib Pajak mulai aware terhadap pajak. Nah, hal ini tentu harus didukung dengan upaya-upaya otoritas pajak untuk membuka ruang pengetahuan pajak lebih lebar bagi Wajib Pajak.
Saat ini peran pemerintah untuk membuka ruang kesadaran dan memberi pengetahuan kepada Wajib Pajak relatif lebih terbantu. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pihak di luar pemerintah yang ikut menyebarkan informasi perpajakan kepada masyarakat.
Seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap informasi perpajakan, hal ini juga membuat banyak pihak kemudian mulai meningkatkan perhatiannya akan hal ini. Media massa pun sekarang juga sudah banyak yang meng-expose ikhwal pajak. Majalah perpajakan, situs-situs perpajakan, tax blog, milis-milis perpajakan juga menjamur di dunia maya.
Jadi untuk Wajib Pajak yang mungkin masih ”newbie” di dunia pajak, ada banyak cara yang bisa dipilih untuk mengetahui informasi pajak tanpa mengeluarkan biaya. Bagi yang mau merogoh koceknya, Wajib Pajak dapat mengikuti pelatihan perpajakan yang juga sudah banyak yang menyelenggarakannya. Hal ini memang relatif akan menimbulkan tax compliance cost yang tidak sedikit bagi Wajib Pajak.
Dengan meningkatnya pihak-pihak di luar pemerintah yang ikut menyebarkan informasi perpajakan, kita semua berharap Wajib Pajak kita akan semakin pintar dalam memahami hak dan kewajiban perpajakannya—yang akan berujung pada kepatuhan suka rela untuk melakukan kewajiban pajaknya. Hal ini merupakan kolaborasi dari pemerintah dengan setiap elemen masyarakat yang kini lebih peduli terhadap informasi perpajakan.
Semakin banyak Wajib Pajak yang pandai dan tahu mengenai pajak tentu akan semakin baik, karena Wajib Pajak yang pandai bisa menjadi agen pengetahuan perpajakan bagi Wajib Pajak lainnya yang belum mengetahui. Selain itu, masyarakat pun juga akan semakin kritis terhadap pengelolaan dana pajak. Sehingga pengelolaan pajak menjadi lebih transparan dan lebih tepat sasaran.
Semuanya itu, lagi-lagi juga harus diikuti dengan perbaikan profesionalisme aparatur pemerintah. Hal ini tidak hanya berlaku untuk pegawai pajak saja, tetapi juga pejabat dan pegawai pemerintah lainnya. Mumpung masih dalam suasana pesta demokrasi (pemilu), kita semua berharap, wakil rakyat kita yang nanti duduk di DPR dapat membawa perubahan yang lebih baik terutama terhadap profesionalisme aparatur pemerintah ¢

Kekuatan Sebuah Insentif


Insentif… mendengar kata ini di kala kondisi perekonomian serba sulit bagai terkena embun pagi yang menyejukkan hati. Semua orang butuh tambahan kemampuan ekonomis di kala penghasilan mereka menurun atau bahkan hilang karena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Bagi orang yang kreatif dan punya semangat juang tinggi, kesulitan ekonomi yang menderanya tidak akan menyebabkannya patah semangat dalam mencari penghidupan yang lebih baik. Tetapi bagi orang yang rapuh dan tidak punya semangat, kesulitan ekonomi justru membuat hati dan pikirannya semakin sempit.
Perhatikan saja, berapa banyak orang yang mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup sebelum waktunya karena tak tahan dengan tekanan ekonomi yang dialaminya? Berapa banyak orang yang akhirnya melakukan pekerjaan yang tidak benar karena tak punya pekerjaan? Dan pemberian insentif bagi orang-orang seperti ini bagaikan menemukan oase di tengah gurun pasir.
Orang yang sedang merasakan kesusahan, seringkali membandingkan kondisinya dengan kondisi orang-orang di atasnya. Membayangkan betapa hidup orang-orang di atas mereka itu tidak sesulit hidup yang mereka jalani. Inilah yang akhirnya menimbul kecemburuan sosial.
Kecemburuan sosial ini akan makin menjadi-jadi manakala orang-orang yang kondisinya mereka anggap lebih baik itu justru mendapat bantuan dari pemerintah. Semakin besarlah jurang kecemburuan sosial itu dan dapat menimbulkan gejolak sosial.    
Untuk itu, pemerintah dalam memberikan stimulus atau insentif bagi masyarakat yang terkena dampak ekonomi sejatinya adalah sebuah langkah yang baik. Pemberian insentif atau stimulus tersebut memperlihatkan bahwa negara peduli dengan kondisi rakyatnya. Namun, keputusan pemberian insentif tersebut harus diikuti dengan keselarasan antara tujuan diberikannya insentif dengan sasaran pemberian insentif dan pemilihan bentuk stimulus yang sesuai. Ini penting, pasalnya, alih-alih kondisi menjadi lebih baik, justru menuai protes dari berbagai pihak.
Seperti yang terjadi pada pemberian insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah. Tujuan pemerintah dalam hal ini sangat baik, yaitu untuk menahan turunnya perekonomian nasional dan meningkatkan daya beli masyarakat. Tetapi penerima fasilitas PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah ini dibatasi hanya untuk kaum pekerja yang penghasilan brutonya di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sampai dengan Rp5.000.000,00 dan bekerja di sektor-sektor tertentu saja.
Ketetapan ini diprotes oleh masyarakat yang merasa dirinya lebih berhak untuk memperoleh bantuan, seperti mereka yang penghasilannya di bawah PTKP. Mereka merasa tidak diperhatikan, padahal mereka juga merasakan kesulitan yang sama. Kemudian, orang-orang yang terkena PHK. Kini, mereka tidak lagi memperoleh penghasilan karena kehilangan pekerjaan. Tetapi, mengapa pemerintah tidak menggunakan dana tersebut untuk meng-create sebuah program yang dapat menyerap tenaga kerja saja?
Ada juga yang tak kalah sengit memprotes, mengapa pemerintah tidak memberikan uang tersebut untuk membantu perusahaan membeli mesin untuk keperluan produksi saja? Lalu bagaimana dengan para pelaku usaha yang sektornya tidak mendapat fasilitas tetapi juga dihantam krisis? Jadi insentif ini tidak menyentuh masalah yang utama.
Ada satu komentar dari Wajib Pajak yang cukup menggelitik sampai ke telinga ITR. Wajib Pajak tersebut dengan santainya berujar, “Ya enggak apa-apa lah, daripada uangnya dipakai untuk korupsi...”. Ya, di sisi lain, masyarakat kita terkadang cukup ‘nrimo dengan keadaan yang ada.
Sebuah teori menarik dipaparkan oleh ekonom muda Amerika Serikat, Steven D. Lewitt. Menurutnya, tidak ada masalah di dunia ini yang tidak bisa diselesaikan dengan merancang insentif yang tepat. Meski solusi itu tidak selamanya indah, bisa melibatkan paksaan, penalti yang berlebihan bahkan pelanggaran terhadap hak manusia. Namun masalah utama akan selalu dapat terselesaikan, karena insentif itu bagaikan peluru, pengatur, kunci, bahkan dianggap sebagai objek kecil dengan kekuatan dahsyat untuk mengubah situasi. Semoga hal ini bisa menjadi masukan bagi pemerintah kita ¢