Kamis, 23 Juni 2011

Perlu Cara Alternatif untuk Hambat Transfer Pricing


Kasus penyelewengan wewenang oleh sejumlah oknum pajak yang tidak bertanggung jawab belum hilang dari ingatan publik. Kini, publik kembali terhenyak dengan terkuaknya dugaan kasus transfer pricing oleh sejumlah Wajib Pajak nakal. Ya, permasalahan seputar transfer pricing kembali menjadi topik yang cukup hangat diperbincangkan belakangan ini. Pasalnya, selain kasus restitusi fiktif dan makelar pajak, praktik transfer pricing juga dinilai ikut andil dalam menggerus potensi penerimaan negara dari sektor pajak.
Transfer pricing adalah sebuah istilah untuk mekanisme penetapan harga yang tidak wajar atas transaksi penyediaan barang atau penyerahan jasa oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa (related parties). Dengan praktik yang tidak sehat tersebut, mengakibatkan hilangnya potensi pajak yang seharusnya diterima negara. Inilah sebabnya, kegiatan yang bersifat manipulatif ini sering dikaitkan dengan kerugian negara. Sedikitnya Rp1.300 triliun angka kerugian yang harus ditanggung negara dengan adanya praktik transfer pricing ini.
Jika menengok ke belakang, kasus transfer pricing sebenarnya bukan baru kali ini saja terjadi. Sudah sejak lama kasus ini menghantui, bahkan tidak hanya di ranah perpajakan tanah air, tapi juga negara-negara lain di dunia. Berdasarkan data Organization for Economic and Development (OECD), 60% dari total perdagangan di dunia terindikasi melakukan praktik transfer pricing.
Sebenarnya keseriusan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dalam mengatasi masalah transfer pricing ini sudah terlihat. Menyusul dibentuknya seksi yang khusus membidangi transfer pricing pada 2007 silam, yakni Seksi Transfer Pricing Ditjen Pajak. Namun sayang, pemerintah seakan tidak serius dalam me-manage seksi ini.
Coba bayangkan, hingga kini seksi yang telah berumur 3 (tiga) tahun ini tercatat hanya memiliki 12 (dua belas) personel. Padahal, dengan berbagai permasalahan transfer pricing yang kompleks dan melibatkan banyak perusahaan multinasional, jumlah pasukan tersebut rasanya tidak mungkin dapat menunjukkan performa primanya.
Mengutip salah satu kalimat yang pernah dilontarkan oleh Proklamator kita, Ir. Soekarno dalam orasinya yang berbunyi, “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncangkan dunia”, seharusnya mampu menyadarkan kita betapa pentingnya peranan sumberdaya manusia (SDM). Apalagi, masalah praktik transfer pricing merupakan masalah penggelapan pajak dengan tingkat kerumitan yang tinggi, sehingga dibutuhkan tenaga ahli yang tidak hanya kompeten tetapi juga cukup jumlahnya untuk membongkar praktik ini.
Namun demikian, meski Seksi Transfer Pricing mengalami keterbatasan SDM, tidak lantas pula menjadi patah arang dan menjadikannya kambing hitam atas kinerja yang tidak maksimal. Dirjen Pajak harus mencari cara alternatif untuk menghambat praktik transfer pricing.
Salah satunya dengan menggelar berbagai sosialisasi tentang transfer pricing ke masyarakat luas. Tidak semua orang tahu apa itu transfer pricing dan apa saja kerugian yang dialami oleh pemerintah karena transfer pricing ini. Dengan adanya sosialisasi yang gencar, maka diharapkan kesadaran akan timbul. Dengan demikian, bisa sedikit memperingan pekerjaan Ditjen Pajak dalam menangani kasus transfer pricing.
Intinya, kesadaran akan buruknya dampak praktik transfer pricing bagi negara harus terus dibangun. Untuk mendukung hal ini, sanksi hukum untuk menindak pelaku transfer pricing juga harus segera dipertegas ¢

Tidak ada komentar:

Posting Komentar