Kamis, 21 Juli 2011

Polemik Tarif PKB Progresif


Setelah melalui pembahasan yang menuai pro dan kontra selama proses perancangan, akhirnya pada tanggal 18 Agustus 2009, pemerintah bersama DPR berhasil menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD). Jika dihitung-hitung, proses pembahasan RUU PDRD yang dimulai sejak 14 Juni 2006 ini, memakan waktu lebih dari 3 tahun.
Dari seluruh kesepakatan yang tertuang dalam RUU PDRD ini, klausul Pajak Kendaraan Bermotor-lah yang paling ramai diperbincangkan masyarakat. Pasalnya, pemerintah akan menerapkan tarif PKB progresif mulai dari 2% sampai paling tinggi 10% untuk kepemilikan kedua dan selanjutnya dari kendaraan pribadi, baik mobil maupun sepeda motor.
Pemerintah menyatakan tujuan dari diambilnya kebijakan ini adalah mengatasi masalah kepadatan lalu lintas di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Regulasi ini diharapkan dapat meredam nafsu masyarakat untuk memiliki kendaraan pribadi, sehingga dapat menekan volume kendaraan.
Thus, tidak sedikit masyarakat yang menentang kebijakan ini. Mereka bahkan menyangsikan kebijakan ini akan berjalan mulus. Alasannya, alih-alih menyelesaikan masalah kemacetan, kebijakan ini justru akan menimbulkan permasalahan baru, yaitu terjadinya penurunan kinerja industri otomotif dan kelesuan pasar kendaraan bermotor.
Jika melihat pada tujuan pemerintah, hadirnya kebijakan ini memang tidak secara otomatis mampu mengurangi kemacetan lalu lintas. Namun dapat membuat masyarakat berpikir dua kali ketika akan menambah kepemilikan kendaraan pribadinya.
Dengan adanya ‘pemagaran’ ini, kita berharap jumlah kendaraan bermotor yang beredar di jalan raya dapat berkurang. Tingginya konsumsi masyarakat terhadap kendaraan pribadi memang turut memberikan kontribusi terhadap masalah kemacetan, khususnya di Jakarta. Meski demikian, pemerintah dalam hal ini juga tidak bisa sepenuhnya menempatkan masyarakat pada pihak yang harus dipersalahkan, sehingga akhirnya kepemilikan kendaraan mereka harus dibatasi.
Seandainya saja pemerintah mampu memperbaiki kualitas sarana dan prasarana jalan raya, mampu menyediakan transportasi publik yang nyaman, aman dan terjangkau, tentu masyarakat akan lebih mempertimbangkan keinginannya untuk punya kendaraan pribadi.
Kebijakan adalah sebuah pilihan dan pilihan ini tergantung pada tujuan yang ingin dicapai pemerintah. Bisa jadi pilihan tersebut tidak menyenangkan suatu pihak atau bahkan mengorbankan kepentingan suatu pihak—dalam kasus ini, industri otomotif dianggap sebagai pihak yang harus berkorban. Tetapi demi kemaslahatan bersama, semua pihak seharusnya bisa menerimanya.
Begitu pula dengan kebijakan untuk menerapkan tarif PKB progresif. Jika kebijakan ini dianggap sebagai pilihan terbaik untuk menyelesaikan masalah kepadatan di jalan raya, maka pemerintah harus fokus pada penggunaan hasil pungutan PKB. Hasil pungutan ini harus digunakan untuk memperbaiki infrastruktur jalan. Setidaknya, kepadatan di jalan raya bisa berkurang. Dengan demikian, pihak yang merasa dikorbankan akan merasa ikhlas karena pengorbanannya ternyata tidak sia-sia ¢

Tidak ada komentar:

Posting Komentar