Jumat, 22 Juli 2011

Eksternalitas Retroaktif Biaya Promosi


Kegiatan promosi merupakan kegiatan yang sangat dibutuhkan perusahaan dalam rangka memperkenalkan produknya ke masyarakat luas. Oleh karena itu, kegiatan promosi menjadi salah satu ujung tombak dari berhasil atau tidaknya penjualan sebuah produk di pasaran.
Bentuknya pun harus dibuat semenarik mungkin agar efektif dalam menjaring hati calon konsumen. Perusahaan pun memanfaat segala media dalam melancarkan aktivitas-aktivitas promosinya ini, mulai dari memasang iklan di media cetak maupun elektronik, melakukan pameran produk sampai kepada kegiatan sponsorship. Maka tak aneh bila biaya promosi memiliki porsi yang cukup besar terhadap laporan laba rugi di setiap perusahaan.
Fakta besarnya porsi biaya promosi ini mengundang kekhawatiran di sisi pemerintah, karena hal ini berimplikasi pada mengecilnya penerimaan PPh badan. Untuk itu, pemerintah pun mengeluarkan aturan mengenai pembatasan biaya promosi melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 104/PMK.03/2009. Penerbitan aturan ini mengundang protes, hingga akhirnya diterbitkanlah PMK Nomor: 02/PMK.03/2010 yang tidak lagi memberikan batasan terhadap biaya promosi yang boleh dikurangkan oleh Wajib Pajak.
Namun, yang menjadi sorotan dalam editaxorial kali ini bukan terkait dengan pembatasan biaya promosi, melainkan mengenai sifat retroaktif yang melekat dalam aturan yang mengatur biaya promosi tersebut. Ya, kata “retroaktif” kini memang tak lagi menjadi asing dalam aturan perpajakan kita. Banyak peraturan krusial seperti biaya promosi ini yang diberlakukan secara retroaktif atau berlaku surut.
Pemberlakuan surut ini tentu saja merepotkan Wajib Pajak dan ujung-ujungnya pihak otoritas pajak itu sendiri. Seperti PMK Nomor: 02/PMK.03/2010 yang baru dikeluarkan pemerintah pada 8 Januari 2010 lalu, namun diberlakukan surut sejak awal Januari 2009.
Melalui peraturan ini, setiap perusahaan yang pernah mengeluarkan biaya promosi pada tahun 2009 wajib membuat daftar nominatif. Ini tentu merepotkan karena perusahaan harus menghabiskan waktu untuk membongkar kembali segudang file transaksi setahun yang lalu.
Permintaan daftar nominatif yang disyaratkan oleh pemerintah juga paling sedikit harus memuat alamat, NPWP, jenis biaya, nomor bukti pemotongan dan besarnya penghasilan yang dipotong. Dan apabila daftar nominatif ini tidak bisa diberikan oleh Wajib Pajak, maka kemungkinan biaya promosi untuk dikoreksi dari pos biaya akan sangat besar.
Permintaan daftar nominatif ini memang tindakan preventif dari pemerintah untuk menghindari modus penggelembungan biaya yang tidak seharusnya terjadi dalam biaya promosi. Namun, di sisi lain—Wajib Pajak akan kerepotan—karena mau tidak mau harus ekstra kerja keras untuk mempersiapkan daftar nominatif dimulai dari tahun 2009 akibat trend retroaktif yang melekat dalam aturan biaya promosi. Terlebih daftar nominatif tersebut harus selesai sebelum penyampaian SPT Tahunan pada bulan April 2010 nanti.
Pemerintah harus mengkaji dampak yang dihasilkan dari seluruh kebijakan yang bersifat retroaktif. Untuk itu, ke depan, harus ada upaya untuk menghilangkan sifat retroaktif dalam setiap peraturan pajak. Karena jika di-list, ada banyak contoh lain yang dapat memperlihatkan bahwa kebijakan retroaktif ini justru membuat cost compliance Wajib Pajak menjadi jauh lebih mahal. Ini tentu bertentangan dengan asas pemungutan pajak yang baik bukan? ¢

Tidak ada komentar:

Posting Komentar