Jumat, 22 Juli 2011

Meng-gijzeling-kan Wajib Pajak Nakal


Tunggakan pajak oleh Wajib Pajak nakal di 2010 menunjukkan angka yang luar biasa. Kabarnya, total outstanding tunggakan pajak saat ini berjumlah Rp51 triliun. Dirjen Pajak, Mochamad Tjiptardjo, mengatakan tahun 2010 ini pihaknya menargetkan mencairkan tunggakan pajak sekitar Rp15,3 triliun (30% dari total outstanding tunggakan pajak).
Bayangkan, apabila seluruh jumlah tunggakan yang lolos tersebut ternyata bisa terjaring masuk ke dalam APBN. Pastinya penerimaan pajak juga akan terdongkrak naik dan target penerimaan pun akan tercapai. Untuk itu, Ditjen Pajak tentu harus mencari jalan yang lebih efektif agar hal ini dapat terealisasi.
Salah satu cara yang dipilih instansi ini adalah dengan menggiatkan gijzeling (upaya paksa badan) bagi Wajib Pajak nakal dalam rangka pengembalian piutang negara. Dengan menitipkan Wajib Pajak nakal ke hotel prodeo, diharapkan tunggakan pajak bisa berangsur-angsur dilunasi.
Pemberlakuan terapi kejut ini di ranah perpajakan memang baru terangkat lagi ke permukaan. Pasalnya, selama kepimpinan Darmin Nasution yang berakhir Juli 2009 lalu, kebijakan gijzeling tidak disentuh. Kini, di 2010, Tjiptardjo justru mulai menggencarkan gijzeling. Buktinya, belum lama ini, gijzeling telah diberlakukan terhadap salah seorang Wajib Pajak nakal asal Surabaya.
Penerapan gijzeling sejatinya menjadi pilihan terakhir setelah semua upaya penagihan gagal, apalagi jika ada indikasi Wajib Pajak yang tidak kooperatif ini akan melarikan diri. Meski begitu, ternyata ada pro dan kontra atas penerapan gijzeling. Namun, jika melihat jumlah tunggakan pajak dan fenomena WP nakal, rasanya pendekatan punishment seperti ini memang diperlukan. Selain diharapkan bisa menciptakan efek jera bagi para pelakunya, dapat pula menjadi gambaran bagi masyarakat andaikata ada yang melakukan pelanggaran yang sama.
Untuk itu, perlu ada kesiapan dari Ditjen Pajak sendiri. Dari sisi penerapan, gijzeling harus sesuai prosedur yang berlaku. Pemenuhan syarat kualitatif dan kuantitatifnya harus terpenuhi. Jangan sampai, ada anggapan, pemerintah menyalahgunakan kekuasaan. Pengimplementasian gijzeling ini harus membawa semangat keadilan.
Di sini, perlindungan Wajib Pajak juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Mengingat, berbagai peraturan dan perangkat pajak yang ada, termasuk petugas Ditjen Pajak, masih memerlukan banyak pembenahan. Jangan sampai, ketidakjelasan aturan atau ketidaksempurnaan sistem menjadi ‘lubang’ bagi Wajib Pajak, hingga terperosok jatuh.
Apabila hal tersebut bisa berjalan secara seimbang, pemberlakuan kebijakan ini barulah bisa berjalan dengan efektif dan adil. Secara tak langsung, hal ini juga mencerminkan profesionalisme instansi yang terkait di dalamnya. Nah, sudahkah Ditjen Pajak membenahi sistemnya? ¢

Tidak ada komentar:

Posting Komentar