Jumat, 22 Juli 2011

Mendefinisikan Jumlah Bruto dalam PPh Pasal 23


Masalah penentuan DPP PPh Pasal 23 sering menjadi pertanyaan di berbagai ruang konsultasi. Ada berbagai alasan mengapa hal ini bisa terjadi. Namun yang ingin kami ketengahkan di sini adalah masalah kejelasan aturan yang menjelaskan mengenai definisi atau batasan bagian yang disebut sebagai jumlah bruto.
Penentuan DPP PPh Pasal 23 sempat berubah-ubah, hingga akhirnya di UU Nomor 36 Tahun 2008, DPP-nya kembali ke jumlah bruto. Bila menelusuri berbagai peraturan pelaksana yang mengatur tentang teknis penghitungan PPh Pasal 23, Dirjen Pajak memang telah memberikan petunjuk, bagian pembayaran seperti apa yang dimaksud dengan jumlah bruto. Ya, sampai dengan pemberlakuan PER-178/PJ./2006, pengertian jumlah bruto atau imbalan bruto ini masih relatif jelas.
Setelah PER-178/PJ./2006 dicabut dan diganti PER-70/PJ./2007, kejelasan pengertian jumlah bruto mulai dipertanyakan. Pasalnya, dalam peraturan tersebut tidak ada definisi jumlah bruto. Meski banyak yang mengatakan bahwa pengertiannya sama dengan ketentuan-ketentuan sebelumnya, ketiadaan definisi tersebut tak urung menimbulkan keraguan di sisi Wajib Pajak.
Nah, ketika PMK Nomor: 244/PMK.03/2008 terbit, pertanyaan mengenai pengertian jumlah bruto kembali ramai dibicarakan. Sampai akhirnya terbit SE-53/PJ./2009 yang memberikan penegasan mengenai jumlah bruto dalam rangka menghitung PPh Pasal 23 atas imbalan jasa.
Masalah kejelasan tentang bagian yang menjadi dasar pengenaan pajak memang sangat penting bagi Wajib Pajak. Akibat adanya ketidakjelasan definisi dasar pengenaan pajak, dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang membayar pajak—seperti pada kasus pemotong PPh Pasal 23 yang memotong dari jumlah keseluruhan, tidak hanya atas imbalan jasanya saja. Hal ini jelas tidak adil karena pajak yang dibayar tidak sesuai dengan jumlah pajak yang seharusnya terutang. 
Kini, dengan telah diterbitkannya SE-53/PJ./2009, definisi tentang jumlah bruto sudah dapat dikatakan jelas. Namun kejelasan ini mengundang konsekuensi, yaitu WP perlu menyampaikan perincian dokumen/kontrak. Sayangnya, masih banyak Wajib Pajak tidak bersedia ‘buka-bukaan’ dalam hal ini.
Maka, apakah permintaan perincian ini akan memberikan dampak yang baik? Ya, jika perincian ini memang menjamin adanya keadilan, mengapa tidak? Karena setiap kebijakan yang diambil memang akan membawa efek tertentu. Jadi ya, itulah jalan yang harus diambil jika kita ingin PPh Pasal 23 atas imbalan jasa dikenakan secara adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar