Banyak orang berandai-andai ingin jadi orang kaya. Lalu mengkhayalkan tentang apa saja yang akan dilakukan setelah jadi orang yang berdompet tebal. Jalan-jalan keliling dunia, beli mobil plus rumah mewah, naik haji dan lain sebagainya. Tetapi, adakah yang berandai-andai menjadi Wajib Pajak?
Tanpa harus dibuktikan melalui penelitian, orang yang mau berandai-andai menjadi Wajib Pajak pasti jarang. Justru lebih banyak yang berandai-andai betapa asyiknya bila tidak harus menjadi Wajib Pajak, karena dengan demikian tidak harus bayar pajak, tidak perlu motong pajak atas penghasilan rekanan, tidak perlu lapor Surat Pemberitahuan (SPT), bahkan tidak akan diperiksa oleh petugas pajak.
Menjadi Wajib Pajak sebenarnya sangat membanggakan, karena sudah ikut serta membiayai kebutuhan negara. Namun, menjadi Wajib Pajak juga memerlukan kemauan dan keikhlasan untuk menanggung beban. Seorang Wajib Pajak tidak mungkin bebas dari kewajiban sebagai Wajib Pajak tanpa rela kehilangan penghasilan sebagai salah satu cirinya. Ini sama tidak mungkinnya seperti jadi orang kaya hanya dengan cara bermimpi.
Berandai-andai sebagai Wajib Pajak bukanlah pekerjaan yang tak ada gunanya. Berandai-andai sebagai Wajib Pajak ini penting, bahkan sangat penting untuk dilakukan sejumlah pihak, agar ikut merasakan kepekaan terhadap beban yang ditanggung Wajib Pajak. Kata orang pintar, mencoba memosisikan diri sebagai orang lain bisa membuat kita lebih bijaksana dalam bertindak. Kalimat bijak ini rasanya sangat relevan jika diterapkan dalam konteks pajak.
Seandainya Wajib Pajak pemilik penghasilan mau memosisikan diri sebagai Wajib Pajak pembayar penghasilan—yang harus jadi pemotong pajak. Maka, mestinya pemilik penghasilan bisa memahami betapa beratnya menjadi pemotong pajak. Potong kekecilan saja salah, apalagi kalau tidak potong. Begitu juga dengan telat lapor SPT.
Belum lagi kalau Wajib Pajak pemilik penghasilan tidak mau ambil pusing dengan urusan pajak, dan celakanya, punya bargaining power lebih tinggi. Tapi karena the show must go on, Wajib Pajak pemotong tetap harus motong, maka ditempuhlah langkah praktis tapi tak ekonomis yang cukup terkenal itu (baca: gross up). Kalau begini, sikap “bijak” Wajib Pajak pemilik penghasilan paling sebatas rela tidak diberi bukti potong pajak.
Efek yang lebih positif akan terasa jika tax policy maker yang memosisikan diri sebagai Wajib Pajak pemotong. Dengan menempatkan diri sebagai pihak yang merasakan betul pahit getir kebijakan pajak yang tidak atau kurang pro bisnis, maka kita boleh mengucapkan selamat tinggal pada kebijakan yang membuat repot Wajib Pajak, dari sisi cost of compliance-nya.
Poin yang perlu kita ingat, tax policy maker bukan Wajib Pajak pemilik penghasilan. Artinya, jika Wajib Pajak pemilik penghasilan tidak mau mencoba memosisikan diri sebagai pemotong pajak, atau mau tapi toh tidak mau menanggung beban pajaknya, tidak demikian halnya dengan tax policy maker.
Menempatkan diri sebagai Wajib Pajak sejatinya adalah kebutuhan para policy maker kita. Sebab tidak ada pajak tanpa Wajib Pajak. Jadi, kebijakan terhadap Wajib Pajak mestinya ditujukan agar Wajib Pajak tetap dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, bukannya malah layu sebelum berkembang.
Wajib Pajak adalah unsur penting dalam keberhasilan mengumpulkan dana demi pelaksanaan pembangunan. Berusaha memosisikan diri sebagai Wajib Pajak dan ikut merasakan beban Wajib Pajak bagi sejumlah pihak di atas bisa membuat kondisi perpajakan di tanah air menjadi lebih nyaman. Tidak percaya? Coba saja! ¢